Pertempuran Pulau Ramree dikenal juga sebagai Operasi Matador, adalah perang yang berlangsung dari 14 Januari hingga 22 Februari 1945.
Yang membuat menarik adalah, pertempuran ini dikenal karena sebuah klaim bahwa ratusan tentara Jepang dibunuh oleh buaya di rawa-rawa bakau Ramree.
Pada 24 Februari 1945, koresponden perang Reuters melaporkan bahwa tentara Jepang yang mencoba melarikan diri dari Pulau Ramree, dipaksa untuk keluar dari rawa-rawa bakau dalam kondisi kelaparan, dan banyak yang terbunuh oleh buaya.
Tentara yang terkepung, harus memilih menghadapi pasukan musuh yang mendekati mereka, atau melintasi rawa tebal yang dipenuhi oleh buaya. Mempertaruhkan nyawa di rawa atau menyerah di tangan musuh mereka, dan alih-alih menyerah, Jepang memilih melakukan perjalanan melalui rawa bakau Ramree.
Pasukan Inggris hanya memantau situasi dari jauh di tepi rawa, tidak mengejar pasukan yang melarikan diri karena mereka tahu bahwa Jepang berjalan menuju perangkap kematian mereka.
Setelah memasuki rawa, tentara Jepang mulai menyerah pada lingkungan rawa, ditambah dengan dehidrasi, penyakit, kelaparan, nyamuk, ular, laba-laba, kalajengking dan cuaca yang tidak bersahabat.
Bruce Wright (naturalis Kanada dan veteran kampanye Burma) menggambarkan peristiwa pertempuran tersebut :
"Malam itu (19 Februari 1945) adalah (malam) yang paling mengerikan yang pernah dialami oleh stiap anggota kru (peluncuran motor). Tembakan senapan yang tersebar di rawa gelap gulita, tertusuk oleh jeritan orang-orang terluka, yang hancur oleh rahang reptil besar, dan suara buaya berputar membuat hiruk pikuk ini seperti neraka di bumi."
"Saat fajar, burung nasar tiba untuk membersihkan apa yang ditinggalkan buaya. Dari sekitar seribu tentara Jepang yang memasuki rawa-rawa, hanya sekitar dua puluh yang ditemukan hidup."
Karena pernyataan Wright tersebut, kisah ini dimasukkan ke dalam Guiness Book of World Records sebagai serangan hewan terburuk yang pernah tercatat.
Seorang tentara Inggris menulis dalam buku hariannya bahwa :
"Ketika Angkatan Darat mendarat, mereka mengusir Jepang ke rawa-rawa dan buaya membunuh ratusan dari mereka. Mereka biasa menyebut buaya sebagai sekutu."
Letnan Jenderal Jack Jacob menceritakan pengalamanya selama pertempuran :
"Lebih dari 1.000 tentara garnisun Jepang mundur ke rawa-rawa bakau yang dipenuhi buaya. Kami masuk dengan perahu dan penerjemah dengan menggunakan pengeras suara meminta mereka untuk keluar. Tidak ada satu pun yang (keluar). Buaya air asin, beberapa dari mereka (berukuran) lebih dari 6,1 meter sering mengunjungi perairan ini. Tidak sulit membayangkan apa yang terjadi pada orang Jepang yang berlindung di hutan bakau."
Pada tahun 2006, Robert Duff (mantan Divisi ke-26) mencatat sejarah lisan untuk BBC :
"Setelah beberapa minggu, kami berhasil mendorong Jepang ke rawa di sisi lain pulau, yang penuh dengan buaya. Mereka memutuskan untuk mengambil kesempatan di rawa daripada menyerah. Hanya segelintir yang keluar hidup-hidup."
Peristiwa mengerikan ini kemudian dikenal sebagai pembantaian buaya Pulau Ramree (Ramree Island Crocodile Massacre).
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sejarawan dan herpetologis (cabang zoologi yang berkaitan dengan reptil dan amfibi) telah meragukan kisah mengerikan ini.
Meskipun sudah jelas bahwa sejumlah tentara Jepang tewas dalam pertempuran untuk Pulau Ramree, dalam laporan militer (Inggris dan Jepang), tidak disebutkan tentang pembantaian buaya, dan buaya air asin tidak dikenal karena kegilaan makan dalam skala ini, terutama pada mangsa berupa manusia hidup.
Pada tahun 2000, Steven Platt (herpetologis) mengujungi Pulau Ramree, di mana dia mewawancarai penduduk yang telah hidup selama perang dan mereka yang dipaksa menjadi pekerja budak oleh Jepang.
Mereka tidak setuju dengan anggapan bahwa sejumlah besar orang Jepang tewas dimangsa buaya.
"Satu-satunya kematian terkait dengan buaya terjadi ketika 10 hingga 15 tentara tewas saat mencoba mengarungi Min Chaung, sungai pasang surut."
Platt menetapkan bahwa Bruce Wright tidak berada di Pulau Ramree selama pertempuran dan mencatat bahwa meskipun bab-bab lain dalam buku, Wright diceritakan sebagai orang pertama, dalam kisah pertempuran, Wright adalah sudut pandang orang ketiga, sehingga muncul kemungkinan bahwa itu adalah spekulasi.
Sementara secara teknis Wright berada di Ramree, Wright tidak termasuk di antara saksi yang mengaku telah mendengar tangisan orang Jepang yang diserang oleh buaya.
"Malam itu adalah malam yang paling mengerikan yang pernah dialami anggota kru (peluncuran motor), tulis Wright sebagai orang ketiga."
Mungkin karena reputasi Wright sebagai pengamat alam yang cermat, laporan itu kemungkinan diterima sebagai fakta.
Spekulasi mengatakan Wright mengulangi cerita yang telah diceritakan oleh teman-temannya.
Platt juga mencatat bahwa Wright :
"Tidak mengaitkan sebagai besar korban Jepang dengan pemangsaan buaya, tetapi menulis bahwa hanya 20 dari 1.000 tentara Jepang yang selamat dari pertempuran, dengan buaya menjadi hanya salah satu dari banyak bahaya (yang mereka hadapi)."
Dalam buku Wright The Frogmen of Burma 1968, dalam memoar buku itu, Wright menggambarkan bagaimana dia tiba di Ramree setelah pertempuran utama selesai.
Wright menyimpulkan bahwa orang Jepang tidak mati karena buaya saja, tetapi juga karena kehausan dan luka.
Menurut Steven Platt, buaya muara atau buaya air asin, adalah salah satu dari dua spesies buaya yang secara teratur memangsa manusia.
Buaya ini akan secara agresif mempertahankan wilayah mereka dan sesekali memakan manusia.
Mengingat bahwa kurang dari 100 orang yang dibunuh oleh buaya air asin setiap tahun di seluruh Asia Tenggara dan Oseania, apakah ada kemungkinan bahwa 900 tentara Jepang dimakan hidup-hidup oleh buaya ini dalam hitungan minggu, apalagi selama satu malam yang mengerikan, di satu pulau kecil ?
Frank McClynn (sejarawan) dalam bukunya tentang pertempuran untuk Burma, menyimpulkan bahwa pembantaian buaya Pulau Ramree menyinggung setiap peristiwa yang memverifikasi sejarah dan menentang logika ekologis.
"Bagaimana monster ini bertahan sebelumnya dan bagaimana mereka bisa bertahan setelahnya ?."
Tentunya, jika kejadian ini terjadi hanya dalam watu semalam dan melibatkan ratusan buaya, sama saja seperti ratusan tentara yang dipaksa untuk melewati penangkaran buaya dengan banyak buaya di dalamnya.
Dikatakan juga bahwa Jepang tidak kehilangan 900 tentara di Ramree.
Menurut dua penyelidikan oleh Nazi World War Weird (National Geographic) dan Steven Platt, sekitar 500 dari 1.000 tentara Jepang dapat melarikan diri dari rawa-rawa bakau dalam kondisi hidup.
Informasi ini ditemukan di arsip militer Jepang, dan bahwa pertempuran itu terjadi lebih dari sebulan, bukan peristiwa semalam.
Menurut penduduk desa Burma setempat yang masih hidup selama pertempuran untuk Ramree, termasuk beberapa yang wajib militer oleh militer Jepang, sebagian besar korban Jepang di rawa adalah karena dehidrasi dan penyakit yang disebabkan oleh paparan matahari dan kurangnya makanan bersih dan air untuk mereka minum.
Lalu, suara mengerikan apa yang dilaporkan didengar oleh patroli kapal Inggris pada malam di bulan Februari ?
Menurut catatan militer Inggris yang diakses oleh penyelidikan National Geographic, pada dini hari 18 Februari 1945, Sekutu menemukan "upaya putus asa" ratusan tentara Jepang untuk berenang melintasi saluran yang memisahkan Pulau Ramree dari daratan Burma.
"Diperkirakan setidaknya 100 orang Jepang tewas atau tenggelam malam itu...200 orang yang tewas dianggap sebagai perkiraan konservatif - sekitar 40 kapal bermuatan diketahui telah tenggelam. Mungkin 50 orang Jepang lainnya mati di hutan bakau karena paparan, dan kekurangan makanan dan air. 14 tahanan diambil."
Ini kemungkinan besar adalah pembantaian Pulau Ramree yang sebenarnya, yang dilakukan oleh tentara manusia dalam perang yang mengerikan, bukan oleh predator haus darah.
Meskipun sebagian besar korban Jepang di Pulau Ramree berasal dari penyebab yang alami, ada beberapa kepercayaan pada cerita buaya.
Saat tim Steven Platt mewawancarai penduduk desa setempat, mereka mengatakan bahwa 10 hingga 15 tentara Jepang mungkin telah diserang dan dibunuh oleh buaya ketika mereka mencoba berenang di saluran air.
Komandan sekutu lainnya melaporkan bahwa tentara Jepang yang melarikan diri, menjadi korban patroli angkatan laut, dan hiu, saat mencoba mencapai daratan.
Sehingga ada bukti bahwa setidaknya beberapa tentara dibunuh oleh predator besar yang bersembunyi di air.
Pada tahun 2017, Guinness Book of World Records mengubah entrinya tentang Ramree Island Crocodile Massacre setelah penyelidikan oleh National Geographic.
"Saat mereka menunjukkan kepada kami bukti kuat bahwa tidak mungkin jumlah korban yang tewas begitu tinggi. Kami tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan catatan itu dari peredaran publik."
(Sumber : Battle of Ramree Island)
Mental tentara jepang memang gak perlu diragukan lagi, bahkan rawa yg penuh buaya pun dilibas dan walau pada akhirnya berakhir dengan tragis dehidrasi, kelaparan dan ada beberapa yg tenggelam serta dimangsa buaya
ReplyDelete